SRI MALANG yang BERUNTUNG
OLEH SIDIQ FAUZAN
Jam dinding sudah berdentang dua
kali. Setengah malam telah terlewati. Sri masih duduk tepekur di sudut kamar.
Matanya sembab. Ia belum berhasil memejamkan mata. Ia beringsut ke depan cermin
yang menempel di dinding kamar. Kejadian tersebut terulang-ulang sampai
beberapa hari. Sri menahan sedih tatkala kedua orang tuanya kini telah
meniggalkan dia menuju panggilan Tuhan. Sang ibu yang telah lama menderita
sakit tak mampu disembuhkan dan pada akhirnya penyakit tersebut menjadi
perantara untuk menghadap Sang Pencipta. Setelah kepergian sang pendamping
hidup, ayah Sri sering jatuh sakit dan selang waktu yang tak lama ayah Sri
mengikuti jejak sang ibu menghadap ke illahi.
Sri kini seorang diri, jauh dari sanak keluarga karena keluarga Sri adalah
keluarga perantauan. Hanya ada tetangga yang mau membantu Sri mencukupi
kebutuhannya, itupun tidak selau setiap hari. Ia hanya mengandalkan belas kasih
para tetangga.
Hari berganti bulan, bulan berganti tahun
hidup Sri semakin tidak menentu. Sebelum ditinggalkan kedua orang tuanya Sri masih duduk dibangku sekolah
dasar. Ia menjadi salah satu murid teladan di sekolah tersebut. Banyak teman
sekelas Sri yang mengganggap bahwa Sri
anak yang selalu ceria, baik kepada teman, lucu, dan rajin. Tapi sekarang ini
Sri lebih memilih bekerja dini daripada mengenyam pendidikan. Tak jarang teman
sekelas Sri melihat Sri sedang berjualan koran dipinggir jalan. Tapi Sri selalu
bersikap cuek kepada temannya. Salah satu sahabat Sri yaitu Nia tidak tega melihat
aktivitas Sri yang sekarang ini dan ia mencoba mendekati Sri untuk diajak
berbincang-bincang. “Hai Sri, apa kabarmu sekarang ini?”tanya Nia. Sri masih
terdiam. ”Apa kamu tidak kangen sama aku?”tanya Nia lagi. Sri pun masih
terdiam. “okelah kalau begitu, aku pergi dulu ya”kata Nia sambil beranjak dari
tempat duduk. “aku kangen sama kamu”sahut Sri tiba-tiba. Nia kaget mendengar
suara Sri, lantas ia menoleh ke Sri dan
kemudian mereka berdua saling berpelukan erat, seperti orang yang telah
berpisah lama bertemu kembali.
Pelukan itu membuat Sri menangis
mengingat masa bersama kedua orang tuanya ketika masih hidup, ia sudah lama
tidak merasakan bagaimana rasa pelukan kasih sayang itu. Sri pun diajak Nia ke
rumahnya. Ia dikenalkan ke ayahnya Nia. Ayah Nia adalah seorang pengusaha batik
Pekalongan yang sudah sukses. Produknya sudah go Internasionnal. Nia adalah
anak satu-satunya dari pasangan Arman dan Karin. Kisah Sri ini kemudian
diceritakan kepada ayahnya. Setelah mendengar kisah Sri yang malang, ayah Nia mengucurkan
air mata, hatinya tersentuh oleh perjuangan Sri untuk terus hidup mandiri tanpa
orang tua . Lama terdiam, Sri dipanggil ayah Nia. Betapa kagetnya si Sri
mendengar ucapan ayahnya Nia untuk menjadikannya anak angkat. Ayah Nia tidak
tega kalau sampai Sri menanggung beban hidup sendirian. Hati Sri berbunga-bunga
mendengar ucapan ayah angkatnya sekarang. “Terima kasih om”kata Sri terharu.
“Jangan panggil om, panggil ayah saja..OK, sekarang kamu menjadi anggota
keluarga kami yang baru, jangan nangis terus dong”sahut ayah Nia. “Oo ya ayah,
saya sangat bahagia”.
Kehidupan Sri sekarang sudah
membaik. Sri pun melanjutkan sekolahnya yang dulu sempat terhenti karena
desakan ekonomi. Bahkan Sri dibiayai pendidikan sampai jenjang yang lebih
tinggi yaitu universitas baik universitas dalam negeri maupun luar negeri. Nia
yang dulu menjadi sahabat sekarang menjadi saudara. Rumah Nia yang dulu sepi
sekarang menjadi lebih ramai sejak kehadiran Sri, terlebih Sri adalah anak yang
lucu. Mereka selalu bercanda, kesana kemari bersama-sama, saling ledek,
jail-jailan, bahkan memakai pakaian yang sama bak anak kembar. Sri mulai
melupakan kesedihannya dulu, yang membuat Sri depresi dan patah semangat.
Kehidupan Sri kedepannya akan semakin cerah dan penuh dengan harapan-harapan
yang sempat tertunda.
10 tahun telah berlalu. Sri dan
Nia kini sudah menjadi dewasa. Sri selalu merasa senang tinggal bersama
keluarga Arman. Kebutuhan sehari-hari selalu tercukupi bahkan berlebih. Hingga
pada akhirnya Sri memutuskan untuk meninggalkan keluarga Arman. Ia beralasan
untuk pergi merantau seperti halnya keluargnya dulu yang sebagai perantauan. Ia
ingin hidup mandiri yang tidak selalu merepotkan orang lain. Keputusannya ini
membuat keluarga Arman sedih terlebih lagi Nia, sahabat dan juga saudaranya.
Tapi kesedihan ini tidak mengurungkan niat Sri untuk pergi merantau. Setelah
berkemas-kemas Sri memeluk erat Nia tanda perpisahan. “Terimakasih atas kasih
sayang yang telah kalian berikan kepada saya dan saya tidak akan melupakan
seumur hidup kebaikan yang telah kalian berikan kepada saya”ucap Sri bahagia.
Keluarga Arman terdiam menahan kesedihan yang teramat dalam. Tapi kesedihan tak
dapat ditahan, tangis pun tak terbendung, mereka saling berpelukan untuk yang
terakhir kalinya.
Waktu telah berlalu. Di kehidupan
perantauannya ia telah menikah, ia punya
pekerjaan tetap, dan ia dikarunia seorang anak. Dia sekarang menjadi seorang
inspirator bagi kaum wanita untuk selalu berjuang dan yang terpenting adalah
hidup mandiri. Pada akhirnya waktu telah mempertemukan kembali antara Nia dan
Sri. Mereka berdua bagaikan sisi kerang yang didalamnya terdapat mutiara yang
cantik. Mereka tidak dapat dipisahkan, mempunyai ikatan yang erat, saling
membutuhkan, dan walaupun mereka berpisah
mereka mempunyai hati yang satu.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar